Tuesday, December 20, 2011

Ilustrator Transformer dan GI JOE ternyata lulusan ITB

Karena tergila-gila pada komik, Chris m
encari beasiswa S2 untuk ilmu pembuatan komik di AS. Program magang di
Devil's Due Publishing mempertemukannya dengan Hasbro, pemilik lisensi komik Transformers dan GI JOE. Dari situ
karir Chris Lie di dunia per-komik-an dimulai.
Nama Chris Lie memang tak setenar Chris John. Tapi keduanya
merupakan putra bangsa yang sama-sama mengharumkan nama
Indonesia. Bedanya, kalau Chris John adalah petinju pemegang
gelar "Super Champions" kelas bulu WBA, sedangkan Chris Lie
adalah ilustrator komik yang karya-karyanya sudah diangkat ke layar
lebar.
Anda tentu masih ingat fenomena film Transformers: Revenge of
the Fallen, setahun silam. Waktu itu, calon penonton bioskop rela
mengantre demi selembar tiket film peperangan antarrobot. Hanya
seminggu setelah dirilis, film yang dibintangi Shia Labeouf dan
Megan Fox ini mampu meraup penghasilan US$200 juta (setara
Rp1,83 triliun). Film Transformers diangkat dari komik yang salah
satu ilustratornya adalah Christiawan Lie, pria kelahiran Bandung,
5 September 1974.


Ya, Chris, sapaan karib Christiawan, merupakan ilustrator komik yang karya-karyanya sudah beredar di seluruh dunia. Di
antaranya, Transformers, GI JOE, Ninja Tales, Voltron, Return of The Labyrinth (peraih New York Times Manga Best Seller
#4, bersaing dengan komik Naruto), dan Drafted One Hundred Days, yang salah satu serialnya mengangkat kisah Barrack
Obama. “GI JOE itu karya pertama saya,” kenang Chris, seperti dikutip Warta Ekonomi.
Saat ini Chris dan Mark Powers, mantan editor X-Men yang menjadi mitra kerjanya, sudah mendaftarkan copyright dan
trademark komik serial Drafted. Bahkan, New Line Cinema, salah satu studio film besar di AS tengah melakukan
negosiasi film yang mengadopsi komik Drafted.
Tak cukup sampai di situ, game Marvel Ultimate Alliance II (Activision) untuk Playstation3/XBOX360, juga karya Chris. Di
game tersebut, Chris mengonsep ulang desain karakter superhero dari komik Marvel agal lebih up to date dengan
tampilan visual yang lebih keren.
Paling tidak, sampai saat ini, Chris – tentunya lewat perusahaannya yang bernama Caravan Studio, sudah menghasilkan
13 grafik novel dan komik, sepuluh ilustrasi, empat desain konsep, enam desain mainan, dan ilustrasi kemasan. Chris Lie
merupakan salah satu orang Indonesia yang berhasil menembus industri komik mainstream di AS.
Magang Membawa Berkah
Chris memang tergila-gila pada komik. Ia mulai jatuh cinta pada komik saat membaca Tintin, saat kelas 3 SD. Selanjutnya,
ia coba-coba menggambar komik. Lulus dari SMU Negeri 3 Surakarta, Chris bilang ke orang tuanya kalau dirinya ingin
meneruskan pendidikan di bidang seni rupa dan desain. Sayangnya, ia tak mendapatkan lampu hijau dari orang tuanya.
Alhasil, Chris pun memilih jurusan Arsitektur yang masih ada “berbau” seni. Beruntung, ia diterima di Institut Teknologi
Bandung (ITB).
Selepas dari ITB, pada 1997, pria yang lulus dengan predikat cum laude ini, bekerja di konsultan arsitek Nyoman Nuarta,
dan ikut dalam proyek arsitek Garuda Wisnu Kencana, Bali. Tapi, dasar Chris yang cinta mati sama komik, setelah
siangnya bekerja sebagai arsitek, malam harinya ia membuat komik. “Saya dan empat teman bikin komik kalau malam.
Kalau siang, kita kerja kantoran,” kata Chris, terbahak.
Ternyata, Chris hanya bertahan setahun bekerja di konsultan arsitek. Pada 1998, ia mendirikan Studio Komik Bajing
Loncat bersama empat kawan semasa kuliah di ITB. Di studio Bajing Loncat ini ia berhasil menerbitkan komik yang
berjudul Katalis, Amoeba, Petualangan Ozzie, Ophir, dan lebih dari 15 judul lainnya. Waktu itu, mereka mencetak dan
memasarkan sendiri komik-komik hasil karya mereka.
Usaha mereka tak sia-sia, Penerbit Mizan dan Elex Media Komputindo tertarik pada karya mereka. Mizan meminta mereka
untuk mengisi ilustrasi kisah-kisah Nabi. Untuk menyelesaikan proyek tersebut, Chris menambah ilustrator menjadi
sebelas orang. Sayangnya, kerjasama bisnis dengan dua penerbit besar di Indonesia itu hanya berlangsung tiga tahun.
Meski pekerjaan lancar, penghasilan ternyata tidak mencukupi.
Chris dan empat kawannya sepakat melanjutkan hidup masing-masing, pada 2001. Chris pun kembali bekerja menjadi
arsitek. Sambil bekerja, Chris terus membuat komik dan melamar beasiswa. Pada 2003, suami Rennie Setyadharma ini
mendapatkan beasiswa penuh dari Fullbright Scholarship untuk melanjutkan program master di Savannah College of Art
and Design (SCAD), Georgia, Amerika Serikat, selama dua tahun. Jurusan yang diambil adalah master di bidang
sequential art. “Sederhananya, saya ambil jurusan komik,” jelas putra pasangan Lie Hong Ing dan Tan Hwa Kiem ini.
Kampus SCAD meminta mahasiswa untuk mengambil program magang, bisa di internal kampus atau di perusahaan.
Chris memilih opsi kedua. Ia magang di Devil's Due Publishing (DDP), Chicago, selama periode November-Desember
2004. DDP adalah perusahaan penerbitan yang memegang lisensi komik GI JOE. Chris merasa amat beruntung punya
kesempatan magang di DPP. Sebab, tak mudah bagi mahasiswa asing untuk magang di perusahaan komik AS papan
atas.
Seperti anak magang pada umumnya, Chris tidak dipercaya mengerjakan gambar. Melainkan hanya melakukan pekerjaan
kantoran biasa. “Saya cuma disuruh fotokopi dan mengantar dokumen ke sana-sini. Kalaupun menggambar pasti tidak
pernah dipakai,” kenang dia.
Suatu hari, Hasbro, perusahaan yang menaungi GI JOE dan Transformers, menawarkan proyek pembuatan tiga action
figure GI JOE ke DDP. DDP meminta seluruh staf ilustrator (termasuk staf magang) untuk mengirimkan karya. Tak
disangka, justru karya Chris terpilih!
Dengan rendah hati Chris mengaku bahwa dirinya yang berasal dari Asia menjadi salah satu faktor penentu. Sebab, waktu
itu, demam komik Jepang tengah melanda AS. Kebetulan Chris memiliki “gaya” komik Amerika-Jepang. Jadi, dirasa pas
dengan konsep market GI JOE besutan Hasbro.
Tawaran yang datang pada hari Jumat itu membuat pengagum komikus Jim Lee ini terpacu untuk ngebut menggambar
tokoh-tokoh GI JOE dalam berbagai pose. Hasilnya, Chris mendapatkan kontrak untuk membuat action figure selama lima
gelombang. Sampai 2008, ia mengonsep action figure GI JOE: Sigma 6 Soldier Series dan GI JOE: Sigma 6 Commando
Series yang mencapai 25 buah. Untuk satu gelombang, perusahaan biasanya merilis lima tokoh.
Hidup dari Komik
Ketika Chris kembali ke Indonesia, pada 2006, Hasbro dan DDP menjadi klien tetap Chris. Proyek action figure GI JOE
berlanjut pada proyek ilustrasi komik GI JOE dan Transformers. Satu hal yang membanggakannya adalah menerbitkan
komik Drafted bersama Mark Powers. “Drafted adalah karya orisinal karena ide cerita dari kami berdua, sejak edisi
perdana,” kata Chris, bungah.
Pada 2007, Chris membangun bisnis bernama Caravan Studio, dengan modal tabungan Rp150 juta. Caravan adalah
studio konsep desain, komik, dan ilustrasi yang fokus pada penggarapan kreatif sebuah proyek. Bila kompetitor dari
negara berkembang hanya mengerjakan labor work proyek dari perusahaan di negara maju, Caravan Studio justru aktif
menggarap proses kreatif, mulai dari tahap pencarian dan pengembangan ide, desain dan art direction, hingga output
berupa digital image. “Orang Indonesia sebenarnya banyak yang ikut serta dalam proyek komik di AS, tapi kebanyakan di
bidang pewarnaan, bukan konseptor,” jelas Chris. Lebih lanjut ia mengungkapkan, untuk perusahaan sekelas Marvel,
sebagai penciler (pembuat sketsa), Chris bisa meraup honor US$100 (sekitar Rp900.000) per lembar.
Di mata klien, Chris dan Caravan Studio dinilai memiliki penguasaan bahasa asing dan kualitas di atas rata-rata. Bekal
pengalaman selama menggarap proyek Hasbro dan DDP menjadi nilai plus Caravan dibandingkan kompetitornya. “Saya
termasuk orang yang diuntungkan dalam krisis 2008 silam. Banyak proyek lari ke Caravan,” kata dia. Chris mengaku
mendapatkan proyek internasional dengan mengandalkan jejaring semasa kuliah di SCAD dan word of mouth. Kini, Chris
tengah menggaet klien baru asal Eropa.
Ia mengungkapkan butuh enam hingga delapan bulan untuk mengerjakan satu proyek komik. Baginya, ada kepuasan
tersendiri jika melihat komik karyawanya dipajang di rak toko buku. Apalagi komiknya diedarkan di seluruh penjuru dunia.
“Comic is my life style. I create comic, I read comic, I analyze comic, I teach comic, I talk comic, and I get my income from
comic,” kata Chris. Bagi dia, komik adalah segalanya. (AWN)

No comments:

Post a Comment